15 Januari 2018 | Kegiatan Statistik Lainnya
Oleh: Panusunan Siregar
Bekerja di Badan Pusat Statistik Provinsi Kepri
Dalam program peningkatan kualitas hidup, issu yang menonjol adalah masalah kemiskinan. Akibatnya, program-program aksi yang dirancang pun selalu diupayakan bermuara untuk pengurangan jumlah penduduk miskin.
Padahal, issu yang tidak kalah penting di luar masalah kemiskinan adalah masalah ketimpangan pendapatan. Itulah sebabnya kenapa masalah ketimpangan menjadi salah satu indikator strategis yang ditetapkan oleh Presiden R.I dalam memonitor keberhasilan pelaksanaan program pembangunan di Indonesia.
Ketimpangan pendapatan yang merupakan disparitas atau perbedaan pendapatan antara individu/kelompok yang satu dengan individu/kelompok yang lainnya adalah indikator strategis bagi para pemangku kebijakan/kepentingan.
Dengan mengukur ketimpangan pendapatannya dan perubahannya, Pemerintah dan Pemerintah Daerah dapat melihat bagaimana efektivitas penerapan kebijakan atau program-program yang telah dirumuskan dan diimplementasikan.
Misalnya, dengan kebijakan yang memprioritaskan pembangunan infrastruktur ke daerah perdesaan dan pengalokasian dana ADD, diharapkan akan dapat mengurangi ketimpangan pendapatan dan sekaligus mengurangi kemiskinan.
Dengan melihat perubahan ketimpangan, maka keberhasilan atau kegagalan dari kebijakan/program dapat diketahui.
Ketimpangan pendapatan yang melebar akan berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi yang pada gilirannya meningkatkan jumlah penduduk miskin. Bahkan hasil penelitian Galor dan Zeira (1993) mengungkapkan bahwa peningkatan koefisien gini atau disebut juga gini ratio (instrumen pengukuran ketimpangan) sebesar 1 persen akan mereduksi gross domestic product (GDP) per kapita sekitar 1,1 persen untuk jangka waktu 5 tahun, dan 4,5 persen untuk jangka panjang.
Dengan kata lain, peningkatan ketimpangan (secara rata-rata) akan menurunkan GDP per kapita relatif rendah, tetapi penurunan tersebut akan meningkat 4,5 kali lipat dalam jangka panjang.
Untuk kasus Kepri, berdasarkan kajian penulis terhadap 20% kelompok terbawah, juga menyimpulkan hal yang sama dimana koefisien gini mempengaruhi persentase pendapatan/pengeluaran masyarakat secara negatif dengan koefisien korelasi sebesar -0,8.
Artinya, naik turunnya besaran pendapatan/pengeluaran oleh kelompok 20 % terbawah, sangat ditentukan oleh tingkat ketimpangan (besaran koefisien gini).
Alat Ukur Ketimpangan
Dalam mengukur ketimpangan pendapatan (income inequality) ada beberapa alat ukur statistik yang dapat digunakan, seperti rentang nilai tertinggi dan terendah (Range), koefisien variasi (rasio nilai simpangan baku terhadap nilai rata-rata), Theil’s T Statistics, kurva Lorenz, keofisien Gini atau Gini Ratio (GR), dll.
Tetapi yang lazim digunakan dalam mengukur ketimpangan adalah Gini Ratio yang mengambil nilai antara 0 dan 1 dimana nilai 0 (nol) bermakna pemerataan pendapatan sempurna (perfect income equality – semua penduduk berpendapatan sama) dan nilai 1 (satu) bermakna ketimpangan pendapatan sempurna (perfect income inequality – pendapatan dikuasai oleh 1 orang dan yang lainnya adalah nol/nihil).
Di dalam dunia nyata, kedua nilai ekstim tersebut, tidaklah mungkin terjadi. Oleh karena itu, nilai GR berada diantara kedua nilai dimana angka yang mendekati 0 berarti pendapatan masyarakat semakin merata dan bila mendekati angka 1 berarti pendaptan semakin timpang atau senjang.
Ketimpangan Bias Perkotaan
Merujuk pada hasil rilis BPS Provinsi Kepri angka GR Kepri sangat fluktuatif dalam 3 tahun terakhir dimana pada Maret 2017 angkanya sebesar 0,334 (kategori rendah) dan kemudian naik ke angka 0,359 (kategori sedang) pada September 2017, atau meningkat 7,5 persen.
Bila ditelisik lebih jauh, ketimpangan tersebut lebih disebabkan oleh daerah perkotaan yang ketimpangannya meningkat 8,6 % dan sementara daerah perdesaan ketimpangannya hanya meningkat 2,5 persen.
Bila ditilik dari magnitud koefisien gini, ketimpangan pendapatan daerah perkotaan jauh lebih besar dibandingkan daerah perdesaan dengan rasio 1,24. Artinya, ketimpangan Kepri relatif bias perkotaan yang kesenjangannya 1,24 kali lipat dari ketimpangan perdesaan.
Selanjutnya bila dicermati secara spasial, ketimpangan tertinggi berada di Karimun dan Lingga dengan koefisien gini masing-masing 0,340. Sementara angka gini terendah berada di Anambas (0,286) dan dan Bintan (0,299). Ironinya, rendahnya koefisien gini Bintan ini, tidak serta merta kelompok 10 persen termiskin (bottom 10 %) menikmati pemerataan tersebut karena total pendaptan yang mereka miliki hanya 4,40 % dari total seluruh pendapatan dan merupakan angka terendah. Sementara itu, di Anambas angkanya mencapai 7,40 % atau 3 % lebih tinggi dari Bintan.
Reduksi Kesenjangan
Ketika kita berbicara ketimpangan pendapatan, persolannya tidaklah hanya sekedar menginterpretasikan angka koefisien gini atau gini ratio (GR) secara agregat, tetapi harus dimaknai secara rinci.
Sebab, ketimpangan yang melebar akan sangat mudah mengundang persepsi negatif dari publik dan terutama bagipara politisi. Alasannya, karena ketika mereka membahas anggaran yang diusulkan oleh pihak eksekutif, mereka selalu memikirkan postur anggaran harus dialamatkan untuk menigkatkan kesejahteraan masyarakat yang sekaligus mengurangi kesenjangan antarpenduduk (si miskin dan si kaya) dan antardaerah/wilayah.
Bukan saja dalam hal pendapatan, tetapi juga hal pendidikan dan kesehatan. Dengan dasar pikir tersebut, legislatif baru menyetujui anggaran yang diusulkan.
Sebagaimana telah diuraikan di atas, di Provinsi Kepri, masalah kesenjangan pendapatan menunjukkan arah yang semakin melebar alias memburuk dimana ketimpangan tersebut lebih menimpa masyarakat perkotaan.
Padahal, kebijakan program pembangunan yang dirancang Pemerintah pada 2017 lebih menitik beratkan pada pengurangan kesenjangan baik antardaerah perkotaan-perdesaan, maupun antarwilayah kabupaten/kota.
Disadari bahwa ketimpangan pendapatan pada wilayah perkotaan meningkat tajam dibandingkan daerah perdesaan, erat kaitannya dengan keterpurukan perekonomian Kepri yang disebabkan oleh keterpurukan sektor industri manufaktur yang pada umumnya berlokasi di daerah perkotaan.
Namun demikian, daerah perdesaan yang angka koefisien gininya jauh lebih kecil dibandingkan daerah perkotaan, bukan berarti tidak ada masalah. Sebab, masalah ketimpangan bukan hanya sekedar membicarkan disparitas pendapatan/pengeluaran tetapi, seberapa besar pembangunan itu dapat dinikmati oleh kelompok masyarakat terbawah.
Bila dicermati ketimpangan Kepri atas dasar perspektif di atas, terlihat bahwa pembangunan yang dilaksanakan hanya bagian kecil ternikmati oleh masyarakat kelompok bawah.
Berdasarkan fakta statistik, selama 2010-2017, “kue” pembangunan hanya 7-8 persen saja yang dapat dinikmati oleh kelompok masyarakat 20 persen terbawah. Bahkan kelompok fakir miskin yaitu mereka yang berada pada kelompok 10 persen terbawah hanya menikmati “kue” pembangunan sebesar 3 persenan yang sudah barang tentu mereka itu hanyalah menikmati serpihan-serpihan kecil saja.
Dan ini tentunya tidak boleh dibiarkan dan harus diatasi. Sebab, fakir miskin sepenuhnya menjadi tanggung jawab negara sebagaimana tertuang dalam UUD 1945 dan Undang-Undang No. 13/2011 tentang Penanganan Fakir Miskin.
Agar persoalan ketimpangan pendapatan dapat direduksi dan pada saat yang sama “kue pembangunan” yang dinikmati oleh 20 persen kelompok masyarakat terbawah dapat diperbesar, maka ada 4 (empat) hal yang harus diperhatikan dan dilakukan.
Pertama, para stakeholders (pemerintah daerah dan sektor swasta) harus memiliki paradigma yang sama dalam melihat masalah ketimpangan pendapatan itu sebagai masalah yang serius dan bahkan jauh lebih serius dari masalah kemiskinan. Sebab, masalah ketimpangan adalah masalah keadilan pembangunan untuk semua penduduk dan bukan hanya mereka yang berada di bawah garis kemiskinan.
Kedua, ada komitmen yang sunguh-sunguh dari pemprov dan pemkab/pemko untuk memprioritaskan program-program pembangunan berbasis kerakyatan. Artinya, harus berorientasi pada pemberdayaan kelompok masyarakat bukan saja yang 20 persen tetapi juga 40 persen terbawah.
Untuk itu, APBN 2018 yang dialokasikan ke Kepri sebesar Rp 13,9 triliun dengan alokasi belanja modal sebesar Rp 2,24 triliun, harus dapat dijadikan sebagai stimulan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi Kepri yang lebih kencang pada 2018 dimana pada Triwulan III/2017 (y o y) hanya tumbuh 2,41 %. Tujuannya, agar tercipta lapangan kerja untuk dapat menampung penduduk yang menganggur.
Hal penting yang harus diperhatikan dalam APBD itu adalah hal pengeksekusiannya. Anggaran besar tetapi tidak diimplementasikan secara tepat waktu, dampaknya tidak akan besar.
Oleh karena itu, APBD tersebut harus dapat dieksekusi secepat mungkin pada bulan Januari ini atau paling lambat awal Februari. Memang bila dilihat dari besaran relatifnya yang hanya sekitar 6 persenan terhadap PDRB, tetapi sebagai stimulan untuk merangsang aktivitas ekonomi di awal tahun, APBD itu sangat dahsyat dampaknya dalam mendorong pertumbuhan eknomi Kepri sebagaimana ditunjukkan oleh Kepala BPS Provinsi Kepri dalam berbagai forum/kesempatan.
Ketiga, Dana Desa (DD) yang besarnya hampir Rp 7 triliun rupiah, harus benar-benar dimanfaatkan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat desa. Untuk itu, Peraturan Meneteri Kemendes No. 19/2017 tentang prioritas DD tahun 2018 harus benar-benar dipedomani. Pada Bab 3 pasal 4 tertuang jelas ada 5 (lima) program prioritas tentang penggunaan DD yang harus dilaksanakan oleh para kepala desa.
Keempat, keterlibatan proaktif pihak perbankan dalam menyalurkan kredit modal kerja untuk pelaku Usaha Mikro dan Kecil (UMK) mutlak diperlukan agar serapan kreditnya optimal. Untuk hal ini, pihak perbankan dapat memanfaatkan dan memberdayakan data hasil Sensus Ekonomi 2016 (SE2016) yang notabene merekam semua UMK di wilayah Kepri.
Dari hasil SE2016 itu dapat juga dipetakan potensi ekonomi wilayah bukan saja pada level kabupaten/kota dan kecamatan, tetapi juga pada level desa/kelurahan.
Informasi seperti ini sangat penting dimiliki oleh pihak perbankan dalam rangka untuk menyalurkan dana kredit UMK-nya secara tepat guna dan tepat potensi. Semoga dengan upaya dan kerja keras yang kita lakukan secara kegotongroyongan, kemaslahatan dan kesejahteraan masyarakat Kepri secara berkeadilan dapat diwujudkan.***
sumber: http://tanjungpinangpos.id/waspada-ketimpangan-kepri-yang-melebar/
Badan Pusat Statistik
Badan Pusat Statistik Provinsi Kepulauan Riau
(Statistics of Kepulauan Riau Province)
Jl. Ahmad Yani No. 21 Tanjungpinang 29124
Telp. (0771) 4500155 / 4500150 (PST);Fax. (0771) 4500157 E-mail: bps2100@bps.go.id
Tentang Kami